De Javu



Sejarah Wilayah
Potret perjalanan Terbentuknya Sebuah Konsep
Oleh : Humaidi Hambali

“Wilayah al-Faqih adalah anugerah dari Allah SWT bagi kaum Muslimin”
(Ayatullah Ruhullah Khomaeni)

Prolog

Orang Syiah berkeyakinan bahwa Imamah adalah sebuah rukun iman yang harus di yakini, seperti halnya iman kepada Allah, iman kepada para Rasul. Kewajiban imamah ini di nash oleh Allah SWT atas Sayyida Ali- karamallah wajha- dan di sampaikan oleh nabi Muhammad SAW pada hari setelah kepulangannya dari haji wada’ yang kemudian di sebut dengan yaum al-Ghadir. Dan hadist yang disampaikan Rasulullah di sebut Hadist al-ghadi r, dan kaum Syiah merayakan hari ini setiap tahun yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah, atas dasar inilah kaum Syiah meyakini bahwa Rasulullah telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau sebagai penerus Imamah adalah anak dari pamannya yaitu Sayyidina Ali, kedudukan imam menurut mereka sama dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan oleh karena itu, kedudukan seorang imam lebih tinggi ketimbang para nabi yang lainnya, bahkan mereka juga ma’shum (terlepas dari kesalahan-kesalahan) sebuah doktrin yang agak ganjal bagi kita yang bukan golongan syiah, tetapi begitu doktrin imamah begitu melekat di tubuh teologi syiah, bahkan seorang belum bisa di kategorikan seorang syiah hanya dengan mencintai ahlu al-bait (keturunan-keturunan Nabi) tetapi ia juga harus meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah seorang imam. Seorang imam menurut Syiah adalah seseorang yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur urusan mereka baik perkara yang menyangkut kepentingan dunia bahkan urusan-urusan yang bersifat akhirat.

Silsilah Imam menurut Syiah Istna Asyariah adalah dari Sayyidina Ali sampai pada Imam yang ke 12 yaitu Imam Mahdi al-Muntazhar . dan sebagian dari kaum Syiah Ista Asyariah meyakini bahwa Imam yang ke 12 Muhammad bin Hasan secara terang-terangan mengakui keimanannya setelah kelahirannya dan sujud kearah kiblat. Dan Mahdi al-Muntazhar memiliki dua tahapan Gaib . pertama : Gaib Sughra, yaitu dimulai dari sembunyinya sang Imam di sebuah gua sampai pada tahun 329 H bertepatan pada tahun 940/941 M. Dan estafet kepemimpinan di teruskan oleh 4 imam pengganti beliau yaitu : Umar Ustman bin Said Umar, Abu Ja’far Muhammad bin Ustman bin Said, Abu al-Qasim Husain bin Ruh, dan yang terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary. Sedangkan yang kedua yaitu Ghaib kubra yaitu dimulai dari mangkatnya seorang Imam yang terakhir Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary pata tahun 329 H bertepatan dengan tahun 940/941 Masehi.

Syiah beranggapan bahwa pentingnya sebuah komunitas masyarakat di pimpin oleh seorang Imam karena keberlangsungan hidup didunia tergantung seorang pemimpin (Imam) dan kontuinitas Risalah Tuhan tergantung pula oleh seorang Imam, karena dialah yang ma’shum diantara para manusia oleh sebab itu dialah tempat kita bertanya tentang masalah Agama, dan juga urusan dunia. Imamah adalah sesuatu hal yang membuat kita dekat dengan kebaikan dan sebaliknya kita jauh dari segala keburukan.
Berangkat dari persepsi bahwa Wilayah Ali di berikan dari Rasulullah SAW melalui hadisnya, dan hal itu pula menurut kaum Syiah bahwa hal itulah yang menyebabkan turun surah al-Maidah ayat 3:
اليوم اكملت لكم ديناكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الاسلام دينا

Wilayatul Faqih selanjutnya adalah sebuah konsep yang di usung orang-orang syiah untuk meneruskan estafet perjalanan Imamah setelah ke-Ghaib-an seorang Imam. Dan bagaimana sebuah konsep Wilayah al-Faqih bisa terwujud dibawah naungan Wilayah seorang Imam, dan bagaimana konsep Wilayah yang bersifat Tasyri’ bisa jatuh atau turun kepada seorang Imam yang menurut pandangan kaum Syiah mereka adalah orang-orang pilihan yang Ma’shum. Mungkin elaborasi di bawah perlu untuk di perhatikan. Tentang apa itu Wilayah, dan siapa yang berhak memiliki wewenang kekuasaan untuk mengatur manusia dalam hal Agama.

Sekilas Makna Wilayah

Sebelum kita beranjak lebih jauh tentang wilayah, kita harus mengetahui makna wilayah, para pakar fiqh lughah mengatakan bahwa wilayah adalah pertolongan, dan kekuasaan atau adanya sesuatu otoritas pihak pertama pada pihak kedua. Maka dalam praktek wilayah diharuskan adanya sebuah kerelaan (tanpa paksaan) dan kedekatan agar terjadi tasarruf diantara dua pihak, maka kata wilayah mengandung pengertian pertolongan, kecintaan dan kedekatan. Oleh karena itu suatu tindakan pemaksaan tidak termasuk dalam kategori wilayah, karena tidak menunjukkan adanya kedekatan dan kecintaan, kata wilayah sama sekali tidak mengandung pengertian sebuah praktek hegemoni, akan tetapi adanya sebuah sistem kebebasan, dalam artian tidak ada paksaan dalam wilayah . Kita bisa simpulkan bahwa wilayah ialah terjadinya sesuatu diantara dua pihak tanpa adanya sebuah paksaan melainkan karena kedekatan, dan kecintaan.

Ketetapan Wilayah

Allah SWT telah menciptakan segala hal untuk kita manfaatkan, aset-aset yang berharga yang berada di dunia semua di ciptakan untuk kita manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, dan oleh karena itu pula di tangan Allah segala peraturan, ketetapan dibuat, Allah membimbing kita, mendidik kita menentukan jalan kita sebagai hambanya, dan tentunya sesuai kemaslahatan, baik dunia maupun akherat, dengan kata lain Allah mempunyai hak kekuasaan (wilayah) untuk kita. Allah tidak akan membuat sesuatu konsep hukum kecuali mempunyai kemaslahatan bagi hambanya, tapi sesungguhnya manusia itu lemah mempunyai keterbatasan akal untuk mengetahui keseluruhan maslahat dibalik hukum Tuhan tersebut . Allah berhak untuk memerintahkan hambanya apa-apa yang baik bagi manusia dan berarti Allah juga berhak untuk melarang hambanya untuk melakukan sesuatu yang mengandung bahaya dan kerusakan. Dan manusia sebagai seorang hamba harus tunduk kepada hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Tuhan dengan menerimanya dan menjalankannya dalam lini kehidupannya.

Hukum Tuhan bisa sampai kepada kita dengan perantaraan seorang utusan, Rasul atau Nabi-Nya melaui wahyu, maka wajib juga bagi manusia untuk taat dan patuh terhadap apa-apa yang di sabdakan para utusan Tuhan tersebut , akan tetapi ketaatan disini hanya sebagai sebuah petunjuk, Rasul tidak mempunyai kekuasaan mutlak seperti halnya Tuhan, ia hanya perantara untuk menyampaikan hukum-hukum Tuhan, begitu juga seorang Faqih ia hanya sebagai penjelas, penyampai hukum-hukum Tuhan kepada manusia.

Akal manusia bisa menentukan dan memutuskan hal-hal yang menurutnya baik untuk dilakukan oleh orang lain, oleh sebab itu akal manusia juga mewajibkan untuk mentaati orang yang telah membimbing kita dan menunjukkan jalan yang lurus walaupun ia adalah manusia biasa seperti kita. Dan oleh karena itu, kita juga wajib mentaati kedua orang tua kita yang telah merawat kita dan mengasuh kita serta membimbing kita dalam menjalani hidup ini, bahkan hukum Tuhan pun menyuruh kita untuk itu.

Dan dari paparan diatas bisa di ambil benang merah bahwa pada dasarnya, seorang manusia adalah bebas, tidak ada paksaan baginya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Kekuasaan hanya milik Allah, hanya Allah yang mempunyai wewenang hak prerogatif untuk mengatur ciptaannya, yaitu manusia. Akan tetapi tidak mungkin hal itu bisa terjadi tanpa adanya seorang perantara yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan, maka di utuslah seorang Rasul atau Nabi untuk menjelaskan hukum, ketetapan –ketetapan dari Tuhan. Dan berarti kita juga wajib mentaati para utusan tersebut karena ialah yang mengetahui hukum Tuhan tersebut.

Setelah jelas bahwa adanya Wilayah – kekuasaan- pada Allah SWT sebagai pencipta, baik wilayah berupa takwin ataupun tasyri’. Dan wilayah Allah yang berupa tasyri’ itu bisa turun kepada para Rasul dan Nabi dan juga kepada para Imam Ma’shum menurut kaum syiah, sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu ketaatan kepada para imam tersebut merupakan suatu kewajiban, kewajiban ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, akan tetapi bersifat Irsyadiah dengan kata lain karena para Rasul telah membimbing kita, mengajarkan hukum-hukum sakral Tuhan, maka kita harus taat kepada mereka. Bukan sebuah ketaatan yang menyaingi ketaatan kita pada Tuhan.

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang secara jelas menyatakan adanya Wilayah bagi para Rasul dan Nabi, dan juga bagi para Imam menurut kaum Syiah. Untuk mengukuhkan argumentasi mereka tentang adanya otoritas seorang Imam untuk mengatur manusia.

Pertama : Surah al-Baqarah ayat 124 tentang adanya Wilayah bagi Nabi Ibrahim

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim (QS: al-Baqarah 124)

Menurut kaum Syiah ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT, menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum ia dijadikan seorang Nabi, dan dijadikan seorang Nabi sebelum dijadikan seorang Rasul, dan dijadikannya Ibrahim seorang Rasul sebeklum dijadikan al-Khalil (kekasih), dan dijadikan ak-khalil sebelum dijadikan seorang Imam. Dan dari sini pula Allah mengungkapkan sesengguhnya Imamah itu dengan nash.

Ayat kedua : Surah as-Shad ayat 26

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Maksud dari ayat ini adalah bahwa Allah telah memilih Nabi daud menjadi memimpin untuk memimpin kaumnya, untuk mengatur manusia sesuai dengan syariat, dan sebagai seorang Imam ia harus berlaku adil, karena Allah telah berjanji barang siapa yang tersesat dari jalannya maka ingatlah azab pada hari akhir
Ayat ketiga : Surah al-Ahzab ayat 6

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Dari ayat-ayat diatas kaum Syiah Istna asyariah berkesimpulan bahwa adanya sebuah hak otoritas pada diri Nabi untuk mengatur manusia, pada ayat terakhir Allah SWt menyatakan bahwa Nabi Muhammad aula bilmukminin dalam artian bahwa jikalau seorang mukmin melihat adanya sesuatu kecintaan dan kewibawaan maka Nabi lebih berhak untuk mendapatkan hal itu, dan seorang mukmin harus mendahulukan kepentingan Nabi daripada kepentingan pribadi, semisal Nabi diliputi bahaya maka seorang mukmin harus menghilangkan bahaya yang dihadapi sang Nabi, itu adalah sebuah bentuk ketaatan dan kecintaan seorabng terhadap Nabinya. Syeikh Ali as-Shobuni ketika menafsiri ayat ini menyatakan bahwa Nabi lebih berhak untuk dicintai dan perintahnya harus kita laksanakan dan menta’ati Nabi adalah sebuah kewajiban pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, dengan kata lain Nabi memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan jiwa dan harta, maka otoritas kekuasaan Nabi (wilayah) lebih kuat, seperti seorang bapak yang juga memiliki wilayah terhadap anak kecilnya untuk mengatur sang anak, begitu juga Nabi karena dia mengetahui kemaslahatan umatnya. Dan adapun dalam masalah yang bersifat individual seperti masalah seorang menthalak isterinya, mengawinkan anaknya maka itu bukan dari pembahasan konteks ayat tersebut, artinya seorang mukmin lebih berhak dalam urusan pribadinya .

Sedangkan yang dijadikan landasan bagi kaum syiah untuk mengatakan bahwa setelah Nabi memiliki otoritas kekuasaan (wilayah) lalu Nabi mempercayakan Ali sebagai pemimpin setelah Nabi menurut kaum Syiah yang terdapat dalam Hadist al-Ghadir , hadist inilah yang dijadikan pijakan bagi kaum syiah bahwa estafet kepemimpinan setelah Rasul yang berhak memimpin adalah sayyidina Ali, bahwa Rasul telah memilih sendiri Ali sebagai penggantinya. Dan kaum Syiah juga mengatakan bahwa Ulama juga mempunyai otoritas kekuasaan karena dia adalah pewaris para Nabi, berarti dia juga memiliki apa-apa yang dimiliki Nabi Muhammad sebagai orang yang mewarisi.



Beberapa Tingkatan Wilayah

Wilayah Shugra

Wilayah atau kekuasan disini tidak mutlak dalam artian seorang imam tidak memiliki otoritas penuh untuk mengatur umatnya dalam segala urusan. Seperti Wilayah yang di miliki Syeih Muhammad Husain al-Isfahani, Syeih al-Anshary dan Said Khui’

Otoritas Wilayah yang dimiliki Imam pada tingkatan ini hanya sebatas Fatwa dan Qadha pada urusan yang berhubungan dengan harta (materi), jikalau ada suatu keadaan yang mendorong seorang Imam untuk mengeluarkan atau menggunakan otoritasnya sebagai seorang Imam, seperti adanya kasus pencurian, maka ia hanya berhak untuk mengurusi bagaimana barang yang di curi itu bisa kembali, ia tidak mempunyai otoritas hukum untuk mengadili pencuri tersebut, dengan memotong tangan misalnya, atau dengan memenjarakannya, dan lain sebagainya, ia hanya mempunyai otoritas untuk mengurusi harta yang di curi saja.
Oleh karena itu tidak ada hak bagi seorang faqih kecuali qadha’ dan memberikan fatwa, atau ia juga tidak mempunyai otoritas untuk mengambil hak-hak orang kafir, atau sebaliknya memberikan kemaslahatan bagi orang-orang kafir. Maka para ulama berpendapat tidak adanya dalil yang qat’i kecuali pada masalah qadha’, maka tidak bisa menjadikan seorang faqih pada saat ke-ghaib-an sang imam memberikan wilayah secara mutlak kecuali memberikan fatwa dan qadha’ pada urusan harta saja.


Wilayah Mutlaq

Wlayah disini adalah wilayah secara keseluruhan seorang Faqih mempunyai otoritas penuh, apabila ia melihat adanya kemaslahatan dalam hal apaun baik pengurusan harta, jiwa manusia dan maslahah dalam daerah orang-orang Islam maka itu menjadi otoritasnya.

Tetapi dalam permasalahan ini hanya Syeikh an-Nuraqi saja yang berani mengemban wilayah ini. Dan dia menggunakan beberapa argumen untuk melandasi dasar pemikirannya tentang wilayah mutlak ini pertama hadist Nabi SAW yang menyatakan bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. Dari hadist ini dia mengambil kesimpulan bahwa segala yang dimiliki Nabi baik otoritas untuk mengatur manusia dalam hal syariat, politik, sosial dan segalanya berarti otoritas itu juga di miliki oleh para ulama sebagai para pewaris Nabi, orang yang diwarisi berhak mendapatkan segala hal yang dimiliki pewaris, karena mereka adalah pengganti Nabi. Hadist yang juga dipakai untuk menguatkan pendapatnya hadist Nabi yang berbunyi “ sesungguhnya segala sesuatu berjalan diatas tangan para ulama”

Akan tetapi argumentasi mereka memiliki beberapa kelemahan dalam menetapkan konsep adanya wilayah mutlak bagi sang Imam apalagi jika otoritas wilayah ini bisa sampai ketangan seorang Faqih pertama bahwa hadist yang di kemukakan Syekh an-Nuraqy posisinya adalah doif sanad

Yang kedua bahwa Riwayat atau hadist yang di jadikan landasan oleh syeik an-Nuraqy banyak terdapat pada bab yang menerangkan tentang keutamaan ilmu (fadhilah al-ilmi)
Yang ketiga sesungguhnya Nabi yang di dalam hadist tersebut posisinya sebagai pewaris bukan berarti Nabi mewariskan segala hal, apalagi otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan agama, akan tetapi yang diwarisi Nabi yang sesuai dalam konteks riwayat ini adalah menyampaikan ajaran agama menyebarkan petuah-petuah agung Nabi, dan menjelaskannya kepada manusia guna menyinari problem masyarakat dimana seorang ulama itu berada. Bukan berarti seluruh otoritas Nabi jatuh ketangan seorang Imam yang Ma’shum (menurut kaum Syiah)

Keempat bahwa adanya wilayah secara mutlak itu tidak menyeluruh bagi para Nabi, apalagi jika wilayah itu dinisbatkan pada seorang Imam bahkan seorang Faqih seperti Nabi Nuh, Isa, Ibrahim dan Nabi Musa dengan strata wilayah yang berbeda-beda. Dan jikalau dikatakan bhwa ulama adalah pewaris para Nabi, bagaimana lafadh ulama yang bersifat mutlak (umum) mentakwilkannya pada fuqaha saja, pada zaman ghaibah dan juga tidak adanya indikasi yang mengarah kearah penafsiran tersebut
Kesimpulan dari paparan diatas bahwa hadist yang digunakan an-Nuraqy dalam membungkus konsep wilayah secara mutlak bagi seorang Imam dan Faqih itu rapuh dengan alasan yang telah dikemukakan diatas.

Wilayah Wustho

Para Fuqaha syiah mengatakan bahwa masalah wilayah al-faqih adalah wilayah wustho itu sendiri bahkan permasalan wilayah wustho sudah menjadi suatu kesepakatan dan menjadi sebuah keniscayaan dalam mazhab Syiah dalam kurun waktu yang lama. Yang di maksud dengan wilayah disini menjadikan seorang faqih memiliki otoritas untuk mengurusi urusan umat sebagai pengganti dari Imam Ma’shum pada saat ghaibah untuk menegakkan hukum Islam.

Kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menurunkan Rasulnya di muka bumi ini, untuk menyinari manusia membawanya dari jalan kegelapan menuju jalan yang diridhoi Allah, mungkin permasalahan yang dihadapi manusia pada zaman Rasul, tidak sekompleks yang dihadapi manusia saat ini, seiring waktu berjalan manusia dihadapkan pada permasalahan yang begitu dahsyat, maka seorang pemimpin yang mengatur manusia haruslah orang-orang pilihan, dan tujuan adanya pemimpin adalah adanya kontuinitas kehidupan manusia dibawah naungan syariat Islam yang agung maka sorang waliyul muslim harus memiliki persyaratan, maka seorang wali harus memiliki sifat sebagai berikut :

Pertama : seorang wali harus mengetahu undang-undang Islam dan mengetahui Fiqh Islam, bagaimana ia bisa menjawab problematika manusia kalau ia tidak mengetahui Syariat Islam secara mendalam.

Kedua : ia harus memiliki sifat adil, yang dimaksud adil disini adalah seorang wali harus memiliki sifat takwa dan wara’ yang bisa dilihat dari kepribadiaanya yang mempunyai semangat untuk menegakkan syariat dan hukum-hukum Allah dan berpegang teguh atas peraturan dan hukum Islam, maka seorang faqih seperti yang dikemukakan Khomaini telah memenuhi persyaratan itu, ia bertindak sesuai apa yang dilakukan Rasul, tidak kurang dan juga tidak lebih, ia harus berlaku amanah terhadap harta umatnya.

Ketiga : wali muslim memiliki intelektual yang mumpuni untuk mengatur dan mengurusi umat, karena ia harus menegakkan maslahah manusia.

Keempat seorang wali juga harus peka terhadap perkembangan zaman dan problematika yang melingkupinya baik dari segi sosial, ekonomi dan perkembangan di dunia luar, karena hal itu bisa membantu untuk memberikan sebuah keputusan yang bijak, yang berlandaskan atas kemaslahatan manusia. Dan juga mengetahui kebudayaan dan perkembangan pemikiran dan juga permasalahan fiqh kontemporer, seperti masalah Bank, ekonomi Islam, karena pada saat ini manusia dihadapkan pada permasalahan yang harus di jawab dalam perspektif Fiqh Islam .



Epilog

Dari paparan singkat diatas bahwa konsep wilayah al-faqih, yang di cetuskan kaum syiah untuk meneruskan estafet perjalanan imamah, yang sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi kaum syiah, karena Imamah adalah sesuatu yang harus diyakini karena dia termasuk dari rukun iman (menurut Syiah) karena sebuah komunitas harus dipimpin oleh seorang yang bisa membimbing kita, menunjukkan jalan kita, oleh sebab itu di pilihlah orang-orang yang ma’shum karena dialah yang lebih mengetahui kemaslahatan umat ketimbang orang-orang lain disekitar kita, dia lebih mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia, dan apa yang buruk bagi manusia yang harus ditinggalkan, karena dia bebas dari kesalahan-kesalahan. Dan berpegang pada hadist bahwa ulama adalah pewaris para nabi, berarti dia juga memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia (wilayah) seperti yang dimiliki nabi, walaupun ulama dalam konteks hadist tersebut bersifat mutlak, tetapi syiah mentakwilkannya dan mengkhususkannya hanya fuqaha, karena dia lebih mengetahui hukum Tuhan, lebih mengerti makna-makna yang terselubung dari firman-firman suci Tuhan.

Mungkin konsep wilayah dan Imamah kaum syiah, terlahir dari sebuah kefanatikan, Imam menurut mereka adalah orang-orang yang ma’shum, maka dialah yang pantas mendapatkan hak otoritas untuk mengatur manusia.

Sedikit kesimpulan dari paparan diatas bahwa kaum syiah mengatakan bahwa hak otoritas kepemimpinan dan wilayah telah diberikan Rasul SAW pada Sayyidina Ali ketika Nabi pulang dari haji wada’ yang disebut dengan hadis al-ghadir, imamah itu terus berlangsung sampai pada Imam ke12, pada saat Imam ke 12 ghaib, maka kepemimpinan harus terus berlangsung, karena keberlangsungan agama Allah tergantung seorang Imam, maka munculah konsep wilayah al-Faqih, dan mereka melandaskan konsepnya itu dengan hadist nabi bahwa, para ulama adalah pewaris para Nabi, dan berarti mempunyai otoritas sama sepeerti Nabi, dan nereka (kaujm Syiah) mengkhusukan Ulama pada Fuqaha, karena menurut mereka fuqaha lebih mengerti tentang kemaslahatan manusia ketimbang orang-orang lain.

0 Responses to “”

Post a Comment



© 2006 De Javu | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health