De Javu



FIQH RASIONAL ABU HANIFAH
Sebuah Pembacaan Sosio-historis


Judul Buku : Abu Hanifah Hayatuhu wa ashruhu Aro’uhu wa Fiqhuhu
Penulis : Dr. Muhammad Abu Zahra
Tebal : 406 halaman
Penerbit : Dar al-Fikr al-Araby
Cetakan : II
Tahun penerbitan : 1997


Adalah Muhammad bin Ahmad bin Musthafa bin Muhammad bin Abdillah, yang lebih di kenal dengan nama Abu Zahra, seorang intelektual Mesir, yang banyak menulis tentang biografi ulama pendiri mazhab, ia juga aktif di Majma al-Buhuts al-islamiyah. kali ini beliau pengupas tentang biografi Abu Hanifah – pendiri mazhab Hanafiah -, Abu Hanifah di lahirkan pada tahun 80 Hijriah, menurut riwayat terkuat dari ahli sejarah, ia lahir di Kufah, dari seorang ayah bernama Tsabit bin Zauti al-Farisi. Ia bernasab Farisi, (Persia) dan berarti Abu Hanifah adalah seorang mawali (sebutan bagi orang selain Arab) tapi hal itu tidak mengurangi kesempurnaan dan kepandaian beliau, faktanya banyak sahabat dan ulama yang lahir bukan dari bangsa Arab seperti Hasan bin Abi Hasan, Muhammad bin Sirrin. Ahli Fiqh di Bashrah, Atho’ bin Abi Robah, Mujahid, Said bin Jabir, Salman bin Yassar dan masih banyak lagi.

Jenjang Studi Abu Hanifah
Kota Kufah adalah salah satu kota yang berperadaban di Iraq, Iraq sendiri pada waktu itu terdapat beragam sekte Teologi dan pemikiran, sebelum Islam datang, di kota Kufah sudah terdapat sekolah-sekolah yang mengajarkan tentang Filsafat Yunani dan Persia, juga terdapat beberapa sekte dari Nasrani yang acapkali beradu argumen tentang masalah-masalah aqidah, dan setelah Islam masuk, di Kufah terdapat mazhab-mazhab dan sekte yang sangat variatif, maka terjadilah perpecahan dalam politik dan aqidah, antara Syi’ah, Khawarij dan sekte Mu’tazilah. Tak pelak keadaan ini memancing geliat Abu Hanifah muda untuk meluruskan semua itu, Abu Hanifah melakukan dialog dengan mereka, untuk memberi pencerahan kepada mereka, memang interaksi yang di lakukan Abu Hanifah hanya sebentar kemudian Abu Hanifah berbelok hatinya, dan memutuskan untuk berdagang di pasar. Walaupun terkadang ia mendatangi majlis, tetapi itu jarang sekali ia lakukan , ia lebih sering menyibukkan dirinya dalam berdagang, hingga pada suatu hari petunjuk Allah datang melalui seseorang bernama Syu’ba, ia menyarankan kepada Abu Hanifah untuk belajar kepada ulama, karena Syu’ba melihat adanya kecerdasan dan semangat untuk melakukan perubahan dan pencerahan pada sosok Abu Hanifah. Dan akhirnya Abu Hanifah pun menuruti nasehat yang di berikan Syu’ba kepadanya. Pada masa-masa awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah, ada 3 varian halaqah yang di datangi Abu Hanifah menurut analisa pakar sejarah, yang pertama : adalah halaqah mengenai dasar-dasar aqidah dan tempat ini di hadiri oleh beberapa sekte dan golongan. yang kedua : Abu Hanifah sering mendatangi halaqah yang membahas tentang Hadist-hadist baik dirayah maupun riwayah. Sedangkan halaqah yang terakhir yang sering di datangi Abu Hanifah adalah Halaqah tentang Fiqh dan fatwa-fatwa yang menyikapi tentang permasalahan hukum agama yang terjadi pada saat itu (al-masa’il al-waqi’iyah)
Bukan hanya sekedar itu, Abu Hanifah, menyelami seluruh khazanah intelektual Islam pada masanya, belajar ilmu kalam dan mengambil intisari darinya yaitu ilmu tentang berdebat, menghafal al-Qur’an menurut bacaan imam ‘Ashim, dan menghafal beberapa Hadist serta mempelajari Gramatika Arab beserta sastranya. tetapi pada akhirnya Abu Hanifah memusatkan pengembaraan intelektualnya, dan mencurahkan pikirannya pada kajian seputar Fiqh.
Abu Hanifah mengambil ilmu dari para pakar pada bidangnya masing-masing. Belajar ilmu Fiqh dari seorang pakar bernama Hammad Ibn Abi Sulaiman, Hammad sendiri mengambil intisari dari fiqh Ibrahim an-Nukha’i, ia adalah ulama yang paling paham tentang fiqh Ibrahim an-Nkha’i di Kufah, oleh karena itu Fiqh Hanafi sangat kental dengan corak pemikiran Ibrahim an-Nukhai, dan Abu Hanifah menemani Hammad selama kurang lebih 20 tahun sampai Hammad wafat pada tahun 120 H, dan ketika itu umur Abu Hanifah genap 40 thn, pada saat kematangan psikologis dan kesempurnaan rasionalis seseorang. Pada saat melakukan perjalanan ke Mekkah Abu Hanifah juga menyempatkan belajar kepada Atho’ Ibn Abi Ribah, selama berada di Makkah Abu Hanifah selalu belajar kepadanya, sebuah riwayat menyebutkan Abu Hanifah melakukan ibadah Haji sebanyak 55 kali dalam hidupnya, terlepas dari riwayat itu benar atau tidak, yang jelas Abu Hanifah sering melakukan perjalanan Ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan berdakwah. Sedangkan di Iraq sendiri Abu Hanifah banyak belajar kepada para Ulama Syi’ah dari beberapa sekte, seperti sekte Kaisaniyah, sekte Zaidiyah, Isma’iliyah dan Syi’ah Istna Asyarah. Dan masing-masing dari mereka memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan berfikir Abu Hanifah. Oleh karena itu, bisa kita ambil benang merah, bahwa Fiqh Hanafi adalah Fiqh Islam dengan beragam corak, tetapi yang paling dominan pada corak Fiqh Abu Hanifah adalah Fiqh rasionalis bahkan dia sendiri adalah gurunya para ulama fiqh rasionalis.
Abu Hanifah lahir pada Tahun 80 H, pada masa Dinasti Umayyah berkuasa di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Abu Hanifah menyaksikan masa-masa perkembangan Dinasti Umayah hingga akhirnya tumbang. Abu Hanifah Hidup sampai tahun 150 H, artinya ia juga hidup pada masa pertumbuhan Dinasti Abbasiyah , Abu Hanifah menemui masa Dinasti Umayah lebih banyak ketimbang Dinasti Abbasiyah, ia hidup pada masa Dinasti Umayyah berkuasa selama 52 tahun, pada masa itulah kondisi intelektual berkembang, akan tetapi iklim intelektual memang bukan muncul dari pemerintah, akan tetapi di hembuskan oleh komunitas masyarakat, dan mereka adalah pewaris ilmu para sahabat. Abu Hanifah menemui masa Dinasti Abbasiyah hanya 18 tahun. Akan tetapi, pada masa pertengahan Dinasti Abbasiyah dan akhir Daulah Umayyah, pada masa dimana Abu Hanifah Hidup, kondisi intelektual bisa di bilang kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Karena pada masa Daulah Abbasiyah, pemerintah lebih mengkonsentrasikan diri untuk membangun kembali, peninggalan yang di tinggalkan Dinasti Umayyah, kurang memperhatikan segi intelektual pada saat itu.

Sekilas Kondisi Sosial dan Politik
Seperti telah kita ketahui Abu Hanifah hidup pada dua orde yang berkuasa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, maka kemudian Abu Zahra merasa perlu untuk menilik Keadaan sosial dan politik pada masa dua orde tersebut. Daulah Umayyah berdiri setelah kekuasaan Khulafa’u ar-Rosyidin lengser, pada masa Khulafa’u Rosyidin, khalifah di angkat dari orang-orang pilihan, dan tentunya atas rekomendasi Khalifah sebelumnya, atau tanpa rekomendasi khalifah sebelumnya, seperti pada masa kepemimpinan Umar dan Ali. Akan tetapi pada masa Dinasti Umayyah, sistem pemerintahan berubah dari demokrasi menjadi monarkhi, dan Muawiyah sebaagai khalifah pertama Dinasti umayah, mengambil kekuasaan dengan cara Abitrasi (tahkim). maka terjadilah konflik dan permusuhan pengiringi perjalanan Dinasti Umayyah. Kita bisa melihat pada masa itu terjadi penghinaan terhadap Ali bin Abi tholib, bahkan penghinaan dan caci makian tehadap Ahli bait hampir terjadi di setiap mimbar sholat Jum’at, anehnya hal itu hampir menjadi tradisi yang berkelanjutan, yang di pelopori oleh Mu’awiyah bin Abi sufyan, sampai pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.

Dan terjadi fanatisme terhadap arab di kalangan para dedengkot Dinasti umayyah, mereka terlalu membanggakan warisan arab pra Islam, memang untuk hal itu kita panut untuk mengacungkan jempol, akan tetapi fanatisme ini sudah berlebihan, sampai pada tingkat memarginalkan golongan non Arab (baca : mawalli), di acuhkan hak-hak mereka, padahal semua manusia adalah sama di sisi Allah, yang membedakan kita adalah ketakwaan kita kepada Allah, bukan nasab, jabatan, dan harta. Akan tetapi para pejabat pemerintahan Dinasti Umayyah merampas hak-hak mereka, semisal dalam hal hasil rampasan perang, tidak di bagikan secara adil, mereka mengabaikan syariat Allah dalam hal ghanaim (harta rampasan perang)
Itu sekelumit kondisi sosial politik Dinasti Umayyah secara global, adapun kondisi masa Dinasti Abbasiyah bagaikan turunnya hujan setelah musim kemarau, adanya ketentraman. Pada masa ini, para fuqoha lebih berleluasa untuk memberikan keritik terhadap pemerintah. Kecuali pada masa pemerintahan Abi Ja’far, tidak ada kasih sayang. Yang ada hanya penindasan dan diskriminasi.
Abu Hanifah menetap di Iraq, Iraq adalah tempat lahirnya, tempat di mana ia tumbuh dan berkembang, dan di sana pula ia melakukan pengembaraan intelektual, Iraq seperti telah kita ketahui, di sana hidup beragam komunitas, mulai dari Persia, Romawi, India dan Arab di Iraq juga terdapat sekte-sekte yang pelangi, dan tentunya dari semua komunitas itu melakukan interaksi sosial, dan mereka mempunyai adat istiadat yang berbeda pula, tentunya semua mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Fiqh, dan lahan garapan para Fuqoha menjadi lebih luas. Karena masalah yang timbul dari komunitas masyarakat yang plural, lebih rumit dan kompleks.
Iraq, selain mempunyai kelebihan dari segi kondisi sosial, Irak juga mempunyai iklim intelektual yang kondusif, karena di sana terdapat berbagai sekte teologi, seperti sudah di singgung sebelumnya, seperempatnya adalah Syi’ah, baik yang moderat, sampai Syi’ah ekstrim, dan juga terdapat sekte Mu’tazilah, Jahmiyah, Qadariyah dan juga Murji’ah, oleh karena itu dengan kondisi seperti ini, Iraq adalah tempat tumbuh dan perkembangnya mazhab pemikiran, seperti terekam pada statemen Ibnu Abi Hadid, dalam sebuah bukunya, Syarhu Nahju al- Balaghah “ yang menjadi perbedaan mencolok antara Rawafid dan orang-orang yang hidup di sekeliling Rasul SAW, mereka (Rawafid) hidup di Iraq dan tinggal di Kufah, tempat di mana sekte pemikiran dan teologis berkumpul, dan komunitas ini, mempunyai insting pemikiran dan rasionalitas yang mendalam tentang teologi. Berbeda dengan mereka yang hidup di Hijaz, kondisi Sosial dan Kultural dan orang-orang yang hidup di sana tidak sama dengan mereka yang hidup di Iraq. Oleh sebab itu Iraq sangat di kenal telah melahirkan, para intelektual di bidang Teologi dan pemikiran,.

Pandangan Teologi Abu Hanifah
Sebagaimana telah di ungkapkan Abu Zahra pada awal pembahasan. Bahwa Abu Hanifah sering berinteraksi dan berdebat dengan tokoh-tokoh sekte teologis pada masanya. Dan awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah adalah masalah Teologis, kemudian beliau berpaling dan mengkonsentrasikan diri pada kajian sekitar masalah Fiqh, sampai ia masyhur dengan Fiqh Rasionalitasnya. Akan tetapi beliau tidak memutuskan hubungan dengan para Teolog, terkadang beliau masih berdebat dan berdialog dengan mereka, jika Abu Hanifah merasa ada permasalahan Teologis yang di anggap urgen untuk di selesaikan.

Abu Hanifah sering beradu argumen dengan para dedengkot sekte pemikiran, mulai dari masalah eksistensi iman, pelaku dosa besar (al-murtakib kabir). Hal ini bisa kita lacak dari 2 hal:
Pertama : dari riwayat-riwayat, baik yang valid maupun tidak. Dan yang kedua adalah dari kitab yang di tulis Abu Hanifah tentang masalah Teologi, yaitu kitab Fiqh al- Akbar. Abu Hanifah mempunyai 4 karangan kitab, Fiqh al-akbar, Alim wa al-Muta’allim, Risalah ila Ustman bin Muslim al-Batha, dan yang terakhir adalah ar-Roddu ‘ala Qadariyyah. Dan semuanya membahas masalah Teologi. Walaupun ulama masih meragukan penisbatan Fiqh al-Akbar kepada Abu Hanifah.
Kitab Fiqh al- Akbar sendiri memiliki beberapa jalur periwayatan, diantaranya, Riwayat Hammad bin Abi Hanifah, riwayat Abi Mu’thi al-Bulkho, dan yang terakhir adalah riwayat dari Abu Mansyur al-Maturidi. Adapun penisbatan Fiqh akbar kepada Abu Hanifah dilakukan oleh sekelompok Ulama, bukan pendapat mayoritas ulama. Dan berarti penisbatan fiqh akbar masih di ragukan, dan adanya pengingkaran dari sebagian ulama.
Abu Hanifah mendefisikan iman adalah sebuah pengakuan dan pembenaran, sedangkan Islam adalah pasrah dan melaksanakan segala perintah Allah. Walau dari segi bahasa mempunyai pengertian yang berbeda, tetapi Abu Hanifah Menganggap Tidak ada Islam kalau tidak iman, begitu juga sebaliknya.
Dalam permasalahan qadhar, Abu Hanifah sangat berhati-hati, bahkan melarang muridnya untuk membicarakan masalah tersebut secara mendalam dan mendetail, Abu Hanifah memisahkan antara qadha dan qhadar, qadha adalah ketetapan Allah, yang datang dari wahyu ilahi, sedangkan qhadar adalah manifestasi dari sifat qudrah Allah. Suatu saat Abu Hanifah di tanya tentang qadhar, sebuah ketaatan dan maksiat apakah atas kehendak Tuhan atau Manusia, dan adakah batas pemisah antara iradah Tuhan dan perintahnya, lalui ia menjawab dengan arif “tidak ada pemaksaan dan pembebanan, Allah tidak akan pembebani umatnya suatu perkara yang ia tidak sanggup, dan tidak ada siksaan pada suatu perkara yang belum diketahui, dan tidak menghukum hambanya, atas perkara yang ia tidak tahu.
Dan Abu Hanifah berpendapat bahwa iman seseorang tidak bisa kurang dan tidak bisa bertambah, orang yang berbuat dosa besar tetap iman dan tidak di kategorikan sebagai golongan kafir, dan masih mempunyai iman. Sejalan dengan pendapat Malik bin Anas.



Fiqh Hanafi
Tentunya ini adalah pembahasan inti dari tela’ah Histori terhadap tokoh besar Abu Hanifah. Yang di lakukan Abu Zahra. Akan tetapi sama seperti halnya Malik bin Anas, Abu Hanifah tidak memiliki tulisan, buku tentang Fiqh. Adapun kitab yang di tulis Abu Hanifah mayoritas pembahasan tentang teologi, seperti telah di ungkap sebelumnya.
Dan Walaupun Abu Hanifah tidak menulis kitab tentang Fiqh, akan tetapi murid-murid beliaulah, yang mengumpulkan pendapat-pendapat beliau. Imam Muhammad al-Hakiyah menulis pendapat-pendapat Abu Hanifah, akan tetapi tidak terekam secara global semua pendapat Abu Hanifah, karena pertemuannya dengan Abu Hanifah sebentar, ketika Abu Hanifah wafat umur beliau baru mencapai 18 tahun. Sebuah usia yang cukup muda untuk mentransfer ilmu seorang intelektual sekaliber Abu Hanifah.
Fiqh Abu Hanifah sendiri bercorak fiqh spekulatif (Fiqh at-taqdiry) Abu Zahra mendifinisikan Fiqh Taqdiri adalah fatwa dalam sebuah masalah Fiqh yang belum terjadi, dengan cara menganalogikan dengan permasalahan yang sudah terjadi. Corak fiqh seperti ini banyak dipakai oleh ulama ahli qiyas dan rasionalis. Awalnya corak fiqh pada priode Nabi, jelas, hanya menjawab problematik umat yang sudah terjadi, kemudian pada masa Sahabat dan Tabi’in berkembang dengan metode menjelaskan hukum yang ada, dan menjaga hukum-hukum Fiqh yang sudah ada, kemudian pada masa Abu Hanifah berkembang menjadi Fiqh spekulatif, - mengkiyaskan suatu perkara yang belum terjadi, dengan hukum yang ada. Al-hujwa menduga bahwa corak Fiqh Abu Hanifah sejati tidak membicarakan fiqh taqdiri secara jelas, akan tetapi beliau mengembangkan dan merinci suatu masalah dan banyak menggunakan analogi. Fiqh taqdiri sebenarnya telah muncul sebelum Abu Hanifah Syu’ba sering menjumpai Fuqoha yang menggunakan kata “ law kana kadza” dan itu termasuk Fiqh at-taqdiri
Dalam kitab Muwafaqatnya as-Syatibi, ada sebuah Riwayat tentang nasehat Syu’ba kepada anak didiknya “ jagalah 3 perkara 1. apabila di tanya sesuatu masalah jangan teruskan dengan masalah lainnya, 2. apabila di tanya suatu masalah, jangan mengqiyaskan dengan hukum yang ada, dan terakhir apabila di tanya tentang suatu masalah, dan tidak tahu pemecahannya, maka katakan, saya tidak tahu.”
Memang di akui ada perselisihan diantara sebagian Fuqaha, tentang boleh tidaknya menggunakan metode Fiqh Taqdiri. Pada priode ke 3 H. Banyak fuqoha yang menggunakan metode tersebut, bahkan merinci suatu permasalahan sampai pada hal yang irasional. sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti dalam permasalahan Khunsta Musykil
Adapun masadir al-ahkam yang dipakai Abu Hanifah dalam malakukan penggalian hukum (istinbat) adalah al-Qur’an, Hadist Nabi, Abu Hanifah juga mengakui ijma dan tentunya Qiyas, yang merupakan ciri dari fiqh taqdiri . bahkan ada yang beranggapan bahwa Abu Hanifah lebih mengutamakan qiyas ketimbang hadist, akan tetapi Abu Hanifah meruntuhkan anggapan itu, dan berkata “apakah perlu qiyas setelah adanya nash yang shorih” . Abu Hanifah menggunakan qiyas dalam istinbat setelah menemukan kesulitan dalam nash. Dan tentu ia menempatkan masadir sesuai dengan proporsinya masing-masing.
Kemudian pada Tahun 150 H, Imam agung ini di panggil oleh yang maha kuasa di Bagdad dan di kebumikan di sana, beliau telah berhasil menyuguhkan sebuah Fiqh yang luhur. Mazhab beliau tersebar mulai dari Kufah, dan setelah ulama melakukan kajian terhadap fiqh dan pendapat-pendapatnya, mazhab Hanafi meluas ke Mesir, Syam hingga Romawi dan Iraq. Termasuk daratan India dan China.


baca selengkapnya..



© 2006 De Javu | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health