De Javu


Déjà vu


Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".

Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini.



Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif

Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium

Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.

Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.


baca selengkapnya..


IMAM SYATIBI
Dan Proyek Ushul Fiqh Humanis
Oleh : Humaidi Hambali

“qalilu minka yakfina wa qaliluka layakunu qalilan”
(M. Rasyid Ridha)


Prolog

Al-Kind menjadikan Syatibi sebagai genre ushul fiqh tersendiri, terpisah dari dua aliran ushul fiqh besar yaitu aliran ushul syafi’iyah dan ushul fiqh Hanafiah, al-kind membagi kecendrungan ushul fiqh menjadi lima bagian yaitu : Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan syatibiyah. Wajar jika al-Kind menjadikan syatibi sebagai genre ushul fiqh yang mustaqil, karena proyek maqashid syari’ah yang dilakukan Syatibi dalam magnum opusnya – al-Muwafaqat – bisa dikatakan sebuah jembatan yang menghubungkan antara ushul fiqh mutakalimin dan ushul fiqh fuqaha.
Syatibi meracik sebuah teori ushul fiqh yang berbeda dari masa Syafi’i yang menjadikan fiqh lebih hidup, karena menurut Abid al-Jabiri metodologi ushul fiqh yang di gunakan pada masa Syafi’i bertopang pada asumsi (zhonni) pemaknaan mereka terhadap teks agama dan juga qiyas perkutat pada asumsi, sebab ratio legis atau qiyas berpedoman pada sebuah illah al-hukm, yang di duga para fuqaha sebagai dasar pejustifikasian sebuah perkara, berarti sebuah produk fiqh adalah hasil dari sebuah asumsi, oleh karena itu menjadikan rancang bangun fiqh menjadi rapuh dan rigid karena bertopang pada asumsi
Memang walaupun Syatibi bukanlah sebagai peletak embrio pertama maqasid syari’ah, tapi Syatibi telah menggabungkan antara teori ushul fiqh dengan maqasid syari’ah, karena menggabungkan antara dua teori tersebut adalah sebuah jalan keluar agar ushul fiqh tidak terkungkung pada muara teks, dan menjadikan produk fiqh lebih kapabel dan tidak mengabaikan kemaslahatan manusia, karena sejatinya seperti jargon yang acapkali didengungkan para ushuliyin hukum dibuat Tuhan hanya untuk kemaslahatan hamba, al-hukm wudi’a li maslahah al‘ibad.
untuk lebih memberikan gambaran konkrit tentang Imam Syatibi dan proyek besarnya tentang maqasid syari’ah penulis akan memaparkan sekilas tentang biografinya, karena memang menurut Abdurrahman Adam ‘Ali para penulis biografi tidak menulis secara detail tentang kehidupan Imam Syatibi karena ia dikenal setelah menulis magnum opusnya yaitu muwafaqat fi ushul as-Syari’ah dan al-i’tisham setelah orang banyak mengenal pemikiran brilian Imam Syatibi.
Sekilas Biografi Imam Syatibi

Para penulis biografi sepakat bahwa Nama lengkap Imam Syatibi adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad , Muhammad Makhluf menempatkan Syatibi pada urutan ke 16 dalam tingkatan ahli fiqh Malikiyah cabang Andalusia. kunyah nya adalah Abu Ishaq sedangkan nisbatnya as-Syatibi atau al-Gharnati. Gharnathi dinisbatkan kepada kerajaan yang berkuasa ketika Imam Syatibi hidup (Granada) adapun Syatibi (sativa) adalah sebuah kota di bagian Timur Andalusia. Beliau dilahirkan pada tahun 720 H

Imam Syatibi menghabiskan seluruh waktu hidupnya di Garanada, ia tidak pernah pergi keluar dari Andalusia, karena para pakar sejarah pun tidak pernah menjelaskan bahwa Imam Syatibi pergi keluar dari Andalusia, untuk melakukan Ibadah haji ataupun untuk melaksanakan ekspedisi ilmiyah ke beberapa negara bagian Timur .

Imam Syatibi hidup pada di Granada pada masa kepemimpinan Bani Ahmar, laqab Ahmar ditujukan kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H) karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan. Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat hukuman yang sangat berat. Akan tetapi setelah kekuasaan di gantikan oleh anak al-Ghany Billah, yaitu Abu al-Hujjaj Yusuf bin Isma’il berubah iklim intelektual menjadi membaik.
Dan ulama yang memegang hak otoritas untuk berfatwa, bukanlah ulama yang kompoten dibidangnya, sehingga tak jarang ulama mengeluarkan fatwa tidak sesuai dengan syari’at, menurut Imam Syatibi ulama harus berprilaku sebagaimana sikap Rasulullah, karena mereka adalah waratsah al-anbiya (pewaris para Nabi) sehingga mereka berprilaku seperti Rasulullah dan mengajarkan manusia hal-hal yang telah disampaikan Rasul melalui sabda agungnya, Imam Syatibi selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan memerangi ahlu bid’ah. Imam Syatibi juga terkenal membenci takalluf ia lebih condong untuk bersikap toleransi dan moderat.

Imam Syatibi mencoba meluruskan ulama pada saat itu, ia mencoba mengembalikkan bid’ah ke sunnah tetapi Imam Syatibi di lecehkan dan di cerca, perseteruan terjadi antara ulama Granada dan Imam Syatibi, ulama saat itu selalu berfatwa berlawanan dengan apa yang di sampaikan oleh Imam Syatibi tanpa melihat terlebih dahulu kepada teks. Hal lain yang menjadi sorotan Imam Syatibi waktu itu ialah praktek tasawwuf yang telah melenceng dari ajaran Islam, mereka berkumpul di malam hari dengan berzikir menggunakan suara yang keras dan diakhiri dengan tarian, menurut Imam Syatibi tassawuf yang tidak sesuai dengan ajaran syari’at adalah sebuah kesesatan.

Dan pada masa ketika Imam Syatibi hidup, mayoritas ulama Granada menganut mazhab Malikiyah sampai mereka terlalu fatanisme terhadap mazhab tersebut, setiap orang yang tidak bermazhab Malikiyah akan di cerca bahkan disiksa karena menurut mereka tidak sesuai dengan syariat. masyarakat Andalus memang memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180 H ia menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara. Walaupun Imam Syatibi sendiri adalah penganut mazhab Malikiyah tetapi ia tetap bersikap toleransi dan moderat.

Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”

Semua hal itulah yang telah merangsang Imam Syatibi untuk menelorkan master piecenya, al-muwafaqat dan al-i’tisham, dalam al-i’tisham Imam Syatibi membahas secara detail tentang bid’ah dan seluk beluknya, fatanisme dalam bermazhab dan penyelewengan yang di praktekkan kaum sufi waktu itu telah mendorong Imam Syatibi menulis al-muwafaqat untuk menjadikan ilmu syari’ah produk yang didasarkan pada sesuatu yang qath’i, sesuatu yang qath’i adalah teks-teks yang mempunyai makna yang jelas, apa bila sebuah teks tidak mengandung sebuah pen takwil an, berarti teks tersebut qath’iyu dilalah bukanlah teks yang didasarkan pada asumsi , kemudian hal tersebut mengilhami kesadaran metodologis Syathibi untuk melakukan observasi-induktif (istiqra`). Dalam kerja ilmiah Syathibi, observasi-induktif adalah penelitian terhadap seabrek dalil-dalil juz`i-partikular demi capaian sebuah hukum yang universal. Sebuah penelitian yang tentunya tidak terkungkung pada teks, melainkan menguak dan membongkar relung-relung huruf untuk mengambil nilai-nilai maqashid syari'ah .

Intelektualitas Syatibi

Imam Syatibi memulai pengembaraan intelektual sejak kecil, Imam Syatibi memulainya dengan mempelajari ilmu wasail, dan ilmu maqasid. Ia juga tidak berhenti sampai disitu, hampir semua cabang ilmu dipelajari Syatibi secara mendalam untuk bisa mengetahui maksud-maksud dari Syari’at (al-maqasid as-Syari’ah) dan rahasia-rahasianya. Ia mencoba untuk memahami syariah secara mendalam.

Seperti telah di singgung penulis diatas, para penulis biografi tidak menulis secara detail perjalanan hidup Syatibi, mungkin penulis akan paparkan sedikit tentang Guru-guru Imam Syatibi yang telah membentuk corak pemikiran Imam Syatibi. Imam Syatibi banyak belajar dari ulama besar Andalusia waktu itu, Muhammad Adam ‘Ali menuliskan ada 27 ulama Andalusia yang pernah diserap ilmunya oleh Syatibi , penulis akan singgung sebagian.



1. Syeikh Abu Ja’far Ahmad bin Hasan bin Ali bin Ziyah al-Kila’i (wafat pada tahun 728 H)

2. Syeikh bin Ali al-Fukhary al-Biry (wafat pada tahun 753 H)

3. Syeikh Abu Abdillah al-Abdary (wafat pada tahun 756 H)

4. Syeikh Abu Ja’far as-Syakury ( tidak di sebutkan tahun wafatnya)

5. Syeikh Abu Sa’id bin Lub, beliau adalah gurunya ulama Cordova (wafat pada tahun 782 H)

6. Syeikh Muhammad al-Balnasy (wafat pada tahun 782 H)

7. Syeikh bin Muhammad al-Yahshany (wafat pada tahun 773 H)

8. Syeikh Abu Abdillah al-Muqry (wafat pada tahun 759 H)

9. Syeikh Syarif al-Sabty (wafat pada tahun 760 H)

10. Syeikh Syarif at-Talmasany (wafat pada tahun 771 H)

11. Syeikh Syamsuddin (wafat pada tahun 781 H)

12. Syeikh Abu al-Qasim (wafat pada tahun 751 H)



Imam Syatibi adalah ulama yang mengamalkan ilmunya, dia juga sangat menbenci bid’ah, tentunya dengan kedalaman ilmunya itu Imam Syatibi memiliki banyak karya, penulis akan paparkan sebagian, seperti yang tertuang dalam buku al-Imam Syatibi aqidatuhu wa mauqifuhu min al-bid’i wa ahliha gubahan Muhammad Adam ‘Ali .

Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, bertemu gurunya dirubah menjadi al-Muwafaqat
Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya

Maqasidu as-Syafiyah fi syarhi khulashati al-kafiyah

Buku ini terdiri dari 5 jilid dan menjelaskan tentang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu) Attanbakaty mengatakan bahwa dia belum pernah melihat dan membaca buku dalam disiplin nahwu yang sedalam buku ini dalam pembahasannya.

Kitab al-Majalis

Buku ini adalah sebuah komentar (syarhu) pada kitab shoheh al-Bukhary dalam bab jual-beli

Syarhu Rojaz Ibn Malik fi Nahwi

Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar

‘Unwan al-Ittifaq fi ilmi Al-Isytiqaq

Ushul an-Nahwu

Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu

Al-Ifaadat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
Fatawa al-Syathibi
Buku ini adalah buku paling terakhir. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.
Dari keseluruhan karya Imam Syatibi hanya 3 buah karya yang dicetak, pertama al-Muwafaqat, al-I’tisham dan yang terakhir adalah al-ifaadat wa al-Insyaadat

Potret Perjalanan Maqasid Syari’ah

Seperti telah disinggung sebelumnya Imam Syatibi bukanlah peletak embrio dan peletak batu pertama konsep maqasid syari’ah, bedanya Imam Syatibi menyusun secara sistematis dan memberikan porsi yang lebih besar, ia menjelaskan maqasid syari’ah pada bagian juz 2 dari al-Muwafaqat. Seperti cabang ilmu yang lainnya maqasid syari’ah mempunyai bentangan sejarah yang panjang, nah dalam bentangan sejarahnya yang panjang itu paling tidak ada 3 orang yang paling berpengaruh dalam transformasi maqasid syari’ah sepanjang sejarah menurut Ahmad Raysuni, yang pertama adalah Abu al-Ma’ali Abdu al-Malak al-Juwaini atau lebih dikenal dengan Imam Haramain (wafat 478 H ), yang kedua Abu Ishaq as-Syatibi, dalam adikaryanya al-Muwafaqat fi ushul As-Syari’ah, dan dijuluki al-mu’allim al-awwal. yang terakhir adalah Muhammad Thohir bin Asyur (wafat 1379 H/1973 M) dalam buah karyanya Maqasid Syari’ah al-Islamiyah dia yang menjadikan maqasid syari’ah cabang ilmu yang mustaqil terpisah dari ilmu ushul fiqh hingga dijuluki al-mu’allim tsani.

Jika kita berbicara priodesasi, maka tersebutlah Abu Abdillah Muhammad bin Ali at-Turmudzi yang masyhur dengan Turmudzi al-Hakim, dia hidup pada abad 3 H atau awal abad ke 4, karena para ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya dialah orang yang pertama kali menggunakan lafadh Maqasid dalam beberapa karyanya, seperti, Shalah wa maqasiduha, al-hajj wa asrarihi, dan itsbat al-Ilal, karena ia adalah seorang sufi ia mencoba menyingkap rahasia-rahasia ritual ibadah dengan polesan sufistik. Setelah itu datanglah Syeikh as-Suduq atau Abu Ja’far bin ‘Ali ibn Bawaih al-Qumi (wafat pada 381 H) dia menulis sebuah buku al-Ilal as-Syara’yi’, yang mengulas tentang sebab-sebab pensyari’atan yang diriwayatkan dari para Imam Syi’ah dalam metode penulisannya ia sedikit terpengaruh oleh Turmudzi al-Hakim , setelah itu muncul Abu Mansyur al-Maturidi (w. 333 H) penulis Ma`khadz al-Syarâ, Abu Bakar al-Qafal as-Syasi (wafat tahun 367 H) dengan buah karyanya Mahasin as-Syari’ah, Imam Juwaini (wafat tahun 478 ) akan tetapi ia tidak mengkhususkan pembahasan maqasid syari’ah dalam karangannya, seperti dalam al-Burhan, yang dapat disetarakan dengan ar-Risalah milik Syafii, kemudian Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H) dalam Al-Mankhul, al-Mustasyfa dan Syifa al-Ghalil, Fakhr al-Din al-Razi (wafat. 606 H) dalam adikaryanya al-Mahshul, kemudian al-Amidi (wafat. 631 H) penulis al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Ibn al-Hajib (wafat. 646 H), ‘Iz al-Din bin Abd al-Salam (wafat. 660 H) dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, al-Qarafi (wafat. 684 H) dalam al-Furuq, al-Baydhawi (wafat. 685 H), al-Baquri (wafat. 707 H) pengarang Tartib al-Furuq, Najmuddin Al-Thufi (wafat.717 H), Ibn al-Taymiyyah (wafat. 728 H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (wafat. 751 H) mualif A'lam al-Muwaqqi’în, al-Maqri (wafat. 758 H) yang merupakan guru Syathibi dan penulis Qawa'id, Ibn al-Subuki (wafat. 771 H) dengan Jam'u al-Jawami', al-Isnawi (wafat. 772 H), 'Alal al-Fasi (wafat. 1973),dan yang terakhir Muhammad Thahir bin 'Asyur (wafat. 1973).

Selayang Pandang al-Muwafaqat

Al-Muwafaqat seperti telah disinggung, bermula diberi nama al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif, karena menyingkap rahasia-rahasia pentaklifan, setelah Imam Syatibi bermimpi bertemu gurunya, dan gurunya bertanya” saya lihat kamu menulis sebuah buku, apa itu” ? Imam Syatibi menjawab al-Muwafaqat, kemudian gurunya bertanya lagi, “kenapa kau beri nama itu ? “ “karena saya ingin menyatukan antara dua mazhab Maliki dan Hanafi”, dan setelah Imam Syatibi tersadar ia mengganti nama bukunya itu . Al-muwafaqat pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302 H atau 1884 M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341 H / 1922 M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia, oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.
Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884 M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969 M) dan yang kedua ditahkiq oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun .

Mungkin sekedar penutup, walaupun Imam Syatibi bukanlah orang yang pertama menyusun konsep maqasid syari’ah, tetapi setidaknya dia telah mempunyai peran penting dalam proses transformasi maqasid syari’ah, Imam Syatibi membahas konsep maqasid syari’ah secara sistematis dan mendetail. Penulis hanya bisa mengutip perkataan M. Rasyid Ridha yang ia tulis dalam muqaddimah al-i’tisham untuk mengomentari dua karya besar Imam Syatibi yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham “ qalilun minka yakfiina wa qaliluka la yakunu qalilan “ sedikit darimu telah cukup bagi kami, dan sedikit hal darimu, tidaklah dikategorikan sedikit.


baca selengkapnya..



© 2006 De Javu | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health